Senin, 06 April 2009

Jirak, Ibukota Sego Abang Indonesia

Apa yang terlintas di pikiran Anda begitu mendengar kata Gunung Kidul? Daerah kering kerontang atau malah Didi Kempot yang legendaris? Meskipun memang terkenal karena tanahnya yang kering kerontang dan berkapur, bagi saya Gunung Kidul adalah tempat terindah di DIY. Menikmati 'musim panas' di Gunung Kidul sambil bermotor melewati jalan aspal yang mulus dan penuh tikungan tajam sambil menikmati warna-warninya yang menawan adalah salah satu pengalaman paling menyenangkan selama saya di Jogja. Hari Sabtu kemarin saya kembali ke sana dan menemukan satu lagi keajaiban Gunung Kidul yang membuat kabupaten ini menjadi semakin spesial untuk saya.

Yang spesial itu pastinya nggak jauh-jauh dari soal perut. Dan kalau bicara soal Gunung Kidul, kita pasti bicara soal sego abangnya yang sudah tenar ke mana-mana. Namun anehnya, meskipun sego abang menjadi salah satu ikon kabupaten ini, ternyata hanya sedikit tempat yang menjual makanan khas ini. Dan anehnya, banyak penduduk lokal yang nggak tahu di mana tempat yang enak untuk menyam-nyam sego abang!

Tapi trulyjogja jelas tahu tempatnya. Lokasinya berada di jalan utama yang membentang dari Kota Wonosari menuju Semanu. Sekitar 7 km dari pusat kota, sebelum jembatan, di sebelah kanan jalan, ada bangunan gedheg (geribik) berwarna biru muda. Meskipun sangat sederhana, inilah dia ibukota sego abang Indonesia. Tapi anehnya, sentral sego abang ini nggak punya nama! Papan yang ada di depan warung hanyalah billboard iklan rokok yang sama sekali tak mencantumkan identitasnya. Sangat misterius. Namun para penggemar jelas punya panggilan sayang untuk tempat ini. Mereka menyebutnya Jirak, atau nJirak kata orang Jawa, sebuah kosakata lokal yang berarti jembatan.

Ruang dalamnya lumayan luas. Saya yang datang bersama empat orang teman memilih makan sambil lesehan di atas balai-balai beralas tikar. Penataan ruang terasa akrab karena sebuah warung sego abang di Pakem yang pernah saya datangi ternyata mengkopi ambience nJirak ini untuk tempat makannya.

Makanan segera datang. Satu cething nasi merah, sayur lombok ijo, sayur daun kates (pepaya), empal goreng, iso (usus) bacem dan wader (ikan kecil-kecil) goreng. Waktu menunjukkan pukul dua siang sementara saya belum sarapan! Jadilah ajang balas dendam bersettingkan ibukota sego abang Indonesia.

Anda mungkin tidak percaya dengan objektivitas lidah saya yang ternoda dendam kesumat karena belum sarapan. Tapi yakinlah, hidangan ndeso (kampungan ?) khas nJirak ini enaknya pol-polan! Nasi merahnya pulen, kuah sayur lombok ijonya yang banjir amatlah gurih dengan sedikit sentuhan pedas-manis yang mantap. Sayur daun katesnya juga nggak pahit dan jelas enak. Lauknya juga oke, saya paling suka wadernya yang simpel dan sangat nyambung dengan hidangan yang kampungan dan nJawani (Jawa banget) ini. Nggak enak sih mau bilang, tapi harus diakui kalau warung di Pakem kalah telak sama dedengkot sego abang ini . . . Biangnya dilawan!

Setelah puas dan tiba gilirannya mbayar, akhirnya terbukalah rahasia mengapa Sego Abang nJirak nggak terlalu populer di kalangan penduduk lokal . . . harganya metropolitan! Untuk makan lima orang, kami membayar Rp 70 ribuan, tarif yang nampaknya nggak terlalu populis buat area Wonosari dan sekitarnya. Tapi nggak papalah, abis memang enak banget! (ang)

sumber : http://www.trulyjogja.com

Lepas Penat di Umbul Merapi

Sekitar dua minggu yang lalu, akhirnya ada kesempatan temu kangen dengan Bu Pemred yang nampaknya sudah lama sekali absen dari kehidupan saya. Untuk merayakan pertemuan bersejarah ini, kami mengadakan touring Jogja - Purworejo via Pegunungan Menoreh. Bertualang naik motor tentu saja. Medannya lumayan berat. Bahkan di suatu titik yang cukup curam, Bu Pemred harus rela turun dan berjalan menanjak beberapa ratus meter, yang dilakukannya dengan . . . berjalan mundur. Duh, adakah Pemred lain seeksentrik itu? Namun meskipun motor saya kerap ngeden dalam kondisi gigi satu, pemandangan yang kami nikmati selama petualangan benar-benar setimpal indahnya.

Di tengah-tengah perjalanan, terbersit ide untuk mencicipi sensasi susu kambing etawa, kambing lucu bertelinga panjang yang menjadi primadona di kawasan Pegunungan Menoreh. Sayangnya kami kurang beruntung dan harus cukup puas dengan secawan Dawet Ireng yang sekarang sedang ngetrend di kawasan Purworejo dan sekitarnya. Seperti namanya, dawet ini unik karena warnanya memang hitam, sekilas mirip gelapnya warna ketan item. "Mungkin dari tinta cumi - cumi", ujar Bu Pemred sok berspekulasi. Namun rasanya ternyata tidak seradikal warnanya, lumayanlah untuk modal tenaga pulang ke Jogja. Karena kasihan dengan motor, kami memutuskan pulang lewat jalur normal Jogja - Purworejo. Meskipun pada prakteknya kami sengaja menyesatkan diri lewat jalan kampung yang akhirnya bermuara di Godean.

Untuk makan siang hampir sore, Bu Pemred mengusulkan agar kami pergi ke . . . Cangkringan, nun jauh di Kaki Merapi. Ceritanya, dalam suatu perjalanan ke sana, Bu Pemred pernah melihat sebuah warung pinggir jalan yang menawarkan jamur favoritnya. Meskipun masih harus menempuh puluhan kilometer lagi, karena kami sedang berpetualang, jelas tidak ada yang tak mungkin. (kecuali jalur Pegunungan Menoreh tentunya >_<)

Nama tempatnya Umbul Merapi. Posisi geografisnya berada di pertigaan tusuk sate di suatu tempat di Cangkringan yang akan Anda lewati bila ingin pergi ke Padang Golf Merapi, agak susah diterangkan. Dari halaman warung yang cuma bertetangga dengan sawah dan ladang itu, Anda bisa memandang Merapi sepuasnya. Seturunnya dari motor, bagian belakang-tengah tubuh saya yang seharian menempel di jok sampai mengalami mati rasa! Untungnya Umbul Merapi berkonsep lesehan, jadi bisa rebahan sesuka hati. Ahhh, nyamannya, apalagi sambil dibuai sejuknya udara pegunungan.

Ternyata Umbul Merapi cuma menawarkan dua menu jamur dalam daftarnya. Jadi kami memesan satu porsi sate dan dua porsi Pepes Jamur. Karena belum sarapan (padahal jam sudah menunjukkan pukul 3 lebih!) saya juga memesan Nasi Goreng Ijo yang terdengar menggoda.

Pepes Jamurnya terbungkus daun pisang. Rasanya gurih dengan tekstur jamur tiram yang lembut keayam-ayaman (seperti daging ayam maksudnya). Semakin nikmat dengan tahu yang ikut di dalam bungkus daun pisang. Sate Jamurnya sekilas terlihat seperti sate usus ala angkringan. Aroma bawang merah mentah yang kuat berpadu dengan bumbu kecap membuat sate yang kenyil-kenyil ini menjadi penutup yang sempurna untuk hari petualangan kami berdua. Namun jangan lupakan Nasi Goreng Ijonya, karena nasi goreng non kecap yang gurih dengan potongan-potongan tipis buncis ini ternyata punya cita rasa yang cukup menawan. Dengan porsi merica yang nampaknya ekstra banyak, nasi goreng ini sangat cocok untuk menghangatkan badan di tengah sejuknya udara pegunungan.

Meskipun petualangan sehari saya dengan Bu Pemred sudah berakhir, bukan berarti saya bisa langsung pulang ke kos dan istirahat, karena tugas berikutnya sudah menanti. Seorang teman minta diantar ke . . . Bakmi Mbah Mo yang legendaris. Legendaris karena nikmatnya dan legendaris karena lokasinya yang berada di pelosok pedesaan Bantul . . . yang nuuuunn agak jauh di sana. Yah, saya pasti cerita kapan-kapan deh! (ang)

sumber : http://www.trulyjogja.com

Warung Gobek, Bebek Suroboyonan di Jogja

Salam jumpa! Sudah berapa tahun ya kita tidak bertemu? Kalau saya sampai turun gunung untuk menulis sesuatu, pastinya spesial dong. Puasa menulis saya ini harus diakhiri karena undangan dari (siapa lagi kalau bukan) Ibu Pemred. Topiknya: bebek.

Duh, rasanya memang nggak pernah puas kalau kita bicara soal unggas nikmat yang satu ini. Terus apa yang membuat Warung Gobek patut diperjuangkan? Karena eh karena, gosipnya, ini bebek goreng di Jogja yang berlanggam Suroboyo asli!

Hmmmm, jadi ayo coba kita cek faktanya.

Warung Gobek buka mulai jam lima sore di sebuah halaman jembar berpaving block di Jl. Nusa Indah 2, Condong Catur, Jogja. Dari Pasar Condong Catur, melaju terus ke utara sekitar 750 m, nanti di sebelah kanan jalan ada warung tenda berspanduk oranye di halaman sebuah rumah, nah itulah dia.

Saya disambut Bu Pemred yang dibalut halter top dari batik merah. Anting-anting besar turut bergoyang ceria mengiringi tawanya. Kami segera memilih lauk dari counter. Saya mengamankan sepotong dada bebek yang besarnya cukupan dan tempe yang selalu menjadi favorit.

Bu Pemred memilih seikat usus (karena ususnya memang diikat tali biar tidak terburai) dan sekerat empal. Kami menunggu di meja ditemani seorang pejuang yang sibuk menulis essay njlimet sebagai syarat melamar sebagai dosen (selamat berjuang!). Di atas meja ada sebuah besek anyaman bambu dengan dua mangkuk tembikar bertutup yang menebarkan aura jahat kotak pandora.

Tak lama bebek goreng dan kawan-kawan mendatangi meja kami. Tampilannya normal, yang tidak biasa adalah kuah kaldu bebek kental bersemu kekuningan di dalam mangkuk tembikar kecil yang turut menemaninya. Ternyata, item inilah yang melegitimasi Warung Gobek sebagai bebek goreng Suroboyonan yang sah di Jogja!

Memang sebegitu esensialkah cairan ini? Mari kita bahas lebih lanjut.

Bebeknya empuk dan gurih sekali. Harap diingat, gurih tidak sama dengan asin! Rasa gurih itu lebih tersembunyi. Memanjakan lidah dengan lembut dan malu-malu.

Lalu apa fungsi kuah-senjata-rahasia-di-dalam-mangkuk-tembikar-mungil?

"Itu buat disiram ke nasi atau bisa juga untuk celupan bebeknya," ujar Bu Pemred menerangkan CARA YANG BENAR memanfaatkan kuah itu. Saya yang penasaran segera membawa mangkuk mungil ke dekat mulut untuk menyeruputnya. "Ih, nggak kayak gitu!" Komentar tajam + tatapan melecehkan segera dilontarkan oleh Si Ibu melihat aksi yang menurutnya tak masuk akal. Ya maaf, Bu!

Rasa kuah itu memang kental dan gurih sekali. Cara yang paling asyik memanfaatkannya adalah: sobek sedikit daging bebek lalu celupkan agak lama ke dalam kaldu hingga meresap. Hasilnya sangatlah menakjubkan! Daging bebek yang lezat menjadi ekstra gurih dan sangat juicy!

Tapi ini belum akhir dari wisata indera pengecap kita di Warung Gobek, sama sekali belum!

Kejutan berikutnya tersimpan di dalam dua kotak pandora di atas besek bambu yang ternyata berisi dua macam sambal. Kabar gembira, di Warung Gobek kita bebas menyendok sambal sendiri! Langkah berani di zaman serba mahal ini. Untuk menghargai kebaikan hati ini, cicipi dulu sedikit sambalnya untuk mengukur seberapa kuat daya tahan Anda terhadap gempuran mereka. Nggak baik lho buang-buang sambal!

Untuk bocoran Anda, sambal yang berwarna lebih gelap adalah : Si Adik Kecil Yang Nakal. Sambal goreng yang lumayan bikin lidah berdecak tapi tetap menawarkan secuplik sentuhan rasa manis yang menggugah.

Sementara sambal yang berwarna kekuningan adalah: Sang Kakak Tertua Yang (Ya-Ampun-Tuhan) Amit-Amit Jahatnya! Sambal bawang beroktan tinggi ini dipastikan tidak hanya sekedar menggigit lidah Anda, tapi juga mencakar dan mengoyaknya hingga sobek-sobek! Pada akhir pertempuran Anda akan bertekuk lutut di bawah kakinya dengan perasaan puas yang sangat.

Itulah misteri dan kontradiksi sambal. Analisa saya, orang-orang yang suka pedas itu memang masokhis semua!

Masokhis tidak masokhis, nggak ada ruginya Anda bertamasya ke daerah utara untuk menikmati Bebek Goreng Suroboyonan dari Warung Gobek yang oke punya ini. Asal tahu aja, Warung Gobek ini tepat ada di depan kantor trulyjogja.com lho! Tapi jangan terlalu berharap untuk ketemu saya, karena setelah dua malam lidah saya dipermainkan Kakak Yang Jahat, saya segera bertobat, kembali naik gunung untuk melanjutkan pertapaan saya. Ketemu lagi kapan-kapan! (ang)

sumber : http://www.trulyjogja.com

Petualangan Kuliner Jamur di Jejamuran

Setelah beberapa hari dipenuhi dengan menu berdaging-daging, kemarin siang saya memutuskan untuk jadi vegetarian. Tapi hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Waktu-waktu khusus seperti kemarin.

Sebenarnya bukan waktunya yang sangat khusus yang menyebabkan saya rela menjadi vegetarian sesaat. Tempatnya-lah yang amat mendukung seseorang untuk menjadi vegetarian. Menu-menunya spesial.

Sambil merayakan farawell party kecil-kecilan, saya bersama seorang kawan yang berencana pindah ke luar kota, sengaja mampir di sebuah rumah makan di daerah Beran. Dia berjanji menunjukkan rumah makan patut dicoba di pinggiran daerah Sleman. Tepatnya Niron, Pandowoharjo, Sleman, Jogja. Namanya Jejamuran.

Dari namanya saja, bisa ditebak bahwa rumah makan ini menyajikan menu-menu yang berbahan dasar jamur. Hm... kebetulan sekali, saya termasuk penggemar jamur. Menu yang ditawarkan beraneka ragam. Setelah bingung memilih-milih, akhirnya dengan rakus kami memesan pepes jamur, tongseng jamur, sate jamur, dan jamur goreng tepung. Tak lupa sebungkus keripik jamur. Padahal kami hanya berdua.

Awalnya saya ketakutan tak akan bisa menghabiskan jamur-jamur ini, tapi rupanya rasanya lezat. Benar-benar eman untuk disisakan.

Petualangan jamur-jamur ini kami awali dengan pepes jamur a la Sunda. Tak terlalu gurih, tapi kenyalnya telur cukup terasa. Pas. Pepes ini menggunakan jamur tiram yang bentuknya mirip dengan daging ayam suwir. Jamur goreng tepung, yang juga menggunakan jamur tiram, tak kalah enak. Renyah dan gurih.

Temanku menyarankan sate jamur. Bumbu kacang membuat sate ini beraroma mirip sate ayam. Hanya saja, bila diperhatikan, tak ada rasa ayam. Yang ada hanyalah kenyalnya jamur tiram.

Menu terakhir saya adalah tongseng jamur. Amat cocok dengan suasana sore itu yang mendung dan gerimis. Belum lagi udara yang dingin. Tongseng jamur disajikan hangat-hangat dengan asap masih mengepul. Kuahnya merah dan isinya mirip dengan tongseng biasanya. Namun, di tongseng ini tak dapat ditemukan daging. Yang ada, selain sayur-mayur tongseng, justru jamur-jamur merang. Pedas dan manis.

Selain menu-menu rakus kami, sebenarnya masih ada beberapa menu lain yang kesemuanya menggunakan bahan dasar jamur. Seperti gudeg jamur dan dadar jamur yang menggunakan jamur Shitake. Sebenarnya kami ingin mencoba semua menu itu, tapi perut juga memiliki keterbatasan

Menu-menu yag unik dan menarik. Menu yang bisa membujuk orang untuk mampir dan mencoba. Harganya pun tidak mahal. Untuk satu porsi normal (tidak seperti kami), harganya sedikit bervariasi, sekitar Rp 5.000,- - Rp 10.000,-. Rumah makan ini buka dari jam 7 pagi hingga sekitar jam 6 sore.

Keluar dari Jejamuran, berakhir pula lah hari vegetarian saya. Kenyang! (ind)

sumber : http://www.trulyjogja.com

Gudeg Geneng Mbah Marto, Persembunyian Mangut Lele

Setelah terbengkalai selama berminggu-minggu, akhirnya ajakan untuk mencicipi mangut lele di suatu rumah di pelosok Desa Sewon, Bantul pun terlaksana. Warungnya yang sederhana dan berdinding biru tersembunyi di antara perumahan di belakang kampus ISI. Agak sulit dicari, namun patut diperjuangkan.

Papan namanya sedikit menyesatkan, karena tertulis "Sego Gudeng Nggeneng" Mbah Marto. Kok malah ke warung gudeg?

"Dia juga memang jual gudeg, tapi mangut lelenya enak," ucap temanku memberitahu.

Ya memang, di warung berbentuk rumah ini, tak hanya gudeg yang ditawarkan. Mangut lelenya juga menjadi primadona.

Tidak seperti mangut biasanya, sebelum dimasak bersama kuah santan gurih dan pedas (yang visualnya mirip gulai), lele terlebih dahulu dibakar di atas tungku kayu bakar. Tak heran ketika mencicipi lelenya, terasa sensasi 'asap' khas masakan tungku.

Lezat. Khas aroma pedesaan. Ini lah sepertinya yang diunggulkan oleh mangut lele Mbah Marto. Karena matang di pembakaran, rasa gurih daging lele masih terasa jelas. Berbeda dengan mangut lain yang biasanya daging ikannya telah dikuasai rasa mangut itu sendiri.

Kuah mangutnya mirip dengan kuah mangut lain. Gurih, manis, dan pedas. Namun kuah mangutnya yang gurih dan pedas tadi makin terasa sempurna didampingi nasi putih hangat yang masih mengepul asapnya. Wah.. nikmat!

Hanya dengan uang sekitar Rp 10.000,-, aku sudah bisa menikmati mangut lele yang lezat dengan beberapa hidangan sampingan.

Selain lele, di dapur rumah ini tersaji berbagai jenis lau-pauk lainnya. Ada ceker, gudeg setengah kering, sambal krecek, hingga sate keong. Semua terhidang di sebuah lincak di dapur. Pengunjung pun bebas memilih sendiri lauk-pauk dan porsinya.

Letaknya yang berada di tengah perkampungan membuatku agak bingung ketika harus memberikan ancer-ancer menuju Sego Gudeg Nggeneng. Yang jelas letaknya tak jauh dari kampus ISI. Jadi bila bingung, bisa bertanya setelah sampai di kampus ISI. Selamat mencari. (ind)

sumber : http://www.trulyjogja.com

Mbah Mo, Ikon Mie Jawa Jogja dari Bantul

Nama Mbah Mo memang telah menjadi salah satu ikon kuliner bakmi Jawa di Jogja. Kami dari kru trulyjogja.com pun telah lama mendengar tentangnya, walau baru akhir-akhir ini saja baru sempat menyambanginya.

Bersama dua tamu dari Bandung, kami pun menyeberangi kota Jogja, menuju kawasan Code, Bantul. Cukup jauh dari kota, tapi layak ditempuh.

Hasrat untuk makan di warung makan Mbah Mo memang harus disertai dengan niat yang kuat. Selain masalah letak, banyaknya penggemar membuat antrian yang terjadi kadang sulit dipercaya.

"Saya pernah datang jam 8 malam dan harus menunggu antrian selama dua jam," cerita Nur, salah satu penggemar bakmi Mbah Mo.

Antrian yang panjang memang bukan hal yang aneh. Karena di warung Mbah Mo ini, pesanan yang masuk dimasak satu per satu, di atas tungku arang. Saran saya, datanglah pada sore hari saat baru saja dibuka, sekitar jam 5, atau justru datang setelah jam makan malam, saat pengunjung mulai menurun. Tapi resikonya, bisa-bisa Anda sudah kehabisan.

Bakmi Jawa Mbah Mo bukanlah tipe bakmi yang 'njemek'. Tekstur bakminya kecil dan kenyal. Namun yang istimewa adalah rasa gurihnya. Campuran telur bebek dan kaldu dari ayam kampung memang memberikan sentuhan citarasa tersendiri. Belum lagi pilihan daging, balungan, atau rempela yang bisa jadi 'lauk'-nya. Yang terakumulasi dalam kata 'huenaaak!'.

Selain bakminya, di warung ini saya juga punya minuman favorit. Jeruk jahe hangat. Karena warung Mbah Mo tidak menyediakan minuman dingin. Tapi minuman hangat justru baik untuk kesehatan, bukan? Apalagi setelah makan makanan yang berlemak.

Walau awalnya terdengar aneh, minuman jeruk jahe ini rupanya justru enak. Rasanya unik. Ada kecut, manis, hangat, dan segar. Wow! Selain itu, tentu saja masih ada minuman lain seperti teh jahe, jahe, teh, atau jeruk. Yang kesemuanya hangat.

Untuk mencapai warung ini dibutuhkan informasi yang lengkap dan ketelitian. Karena petunjuk-petunjuk yang ada kadang terlewat begitu saja. Yang jelas, dari perempatan Manding, belok ke kanan. Ikuti saja jalan tersebut sampai terlihat petunjuk jalan berikutnya. Atau, bisa pula bertanya pada orang sekitar. (ind)

sumber : http://www.trulyjogja.com

BAKMI SHIBISHU - Ketika Bakmi Bisu Membuat Anda Kehilangan Kata


Jika anda adalah salah satu penggemar berat bakmi, ketika sedang berada di Yogyakarta cobalah untuk mampir mengunjungi warung makan bakmi Shibishu yang terletak di Jalan Raya Bantul No.106. Tempat ini dapat ditempuh sekitar lima menit dari Malioboro, tepatnya 500 meter selatan Pojok Beteng Kulon. Jangan terkecoh oleh namanya yang agak berbau Jepang, bakmi ini dimiliki oleh orang Yogya asli dan sudah beroperasi sejak 25 tahun lalu.Warung makan ini adalah yang paling banyak dikunjungi dibandingkan warung-warung makan lain yang ada di sekitarnya.

Selain keramaiannya tersebut pada awalnya saya cukup bingung dengan apa yang akan saya temui di warung makan ini. Tempat ini terkenal dengan nama 'bakmi bisu'. Ada beberapa pikiran iseng saya berkenaan dengan istilah tersebut. Pertama, bakmi tersebut saking enaknya sehingga ketika mencobanya, kita akan membisu alias tidak bisa berkata-kata. Pikiran yang kedua, yang menjajakan bakmi ini alias si penjual adalah orang yang tuna wicara atau bisu. Saat memesan satu porsi bakmi goreng kepada seorang wanita paruh baya yang sedang meracik bumbu saya mengira tebakan iseng saya yang kedua sudah gugur, karena si ibu tersebut ternyata bisa bicara. Tapi kemudian pada akhirnya saya mengetahui satu dari dua tebakan saya ada yang benar, begini cerita lengkapnya.

Selain memesan bakmi goreng, saya juga memesan teh manis hangat sebagai pendamping makan. Saat menunggu pesanan tiba, perlahan saya mulai mengerti salah satu alasan kenapa tempat ini terkenal dengan nama bakmi bisu. Ternyata pelayan yang mendistribusikan pesanan ke para pelanggan adalah seorang wanita tuna wicara (bisu). Ada satu orang lagi yang membantu ibu peracik dan pemasak bakmi yang sepanjang pengamatan saya juga 'membisu' atau tidak bicara sepanjang melakukan pekerjaannya sebagai pengipas bara api di anglo.

Cukup lama pesanan saya tiba. Bisa dimaklumi karena warung ini hanya menggunakan sebuah anglo berbahan bakar arang untuk memasak semua pesanan pelanggannya. Sambil menunggu pesanan bakmi, suguhan yang datang terlebih dahulu adalah teh manis hangat. Cukup berbeda dari tempat lain yang menyajikan teh hanya dengan menggunakan gelas. Di sini juga diberi tambahan sebuah teko kecil untuk jog jika air teh yang ada di gelas sudah habis. Selain berbeda dalam penyajian, teh ini juga berbeda dalam hal rasa jika dibandingkan dengan teh di tempat lain. Sruputan pertama ketika mencecap teh ini meninggalkan sensasi tersendiri. Jika boleh meminjam tag line sebuah produk teh, ini adalah sensasi wasgitel (wangi, sepet, legi, dan kentel). Aroma yang keluar dari panasnya kopi menimbulkan wangi aroma teh yang khas. Warna teh yang coklat kehitaman menunjukkan kekentalan dan rasa sepet yang membekas di ujung lidah. Kemudian dilengkapi dengan manis yang elegan dari gula batu yang dicelupkan ke dalam teh. Sudah lama saya tidak merasakan teh yang seperti ini. Terakhir, saya mencicipi teh yang enak beberapa tahun yang lalu ketika melakukan penelitian sosial budaya di daerah Tegal Utara.

Setelah hampir 20 menit menunggu akhirnya pesanan bakmi goreng saya diantar oleh si wanita bisu. Tampilan bakmi goreng ini sekilas hampir sama dengan bakmi di tempat lain, hanya saja warnanya lebih terang sedikit mungkin karena tidak terlalu banyak menggunakan kecap. Bakmi ini terbuat dari dua jenis mi, yakni mi kuning dan bihun. Kemudian dilengkapi dengan potongan-potongan kecil daging ayam dan seledri. Suapan pertama ketika mencoba bakmi bisu ini membuat saya hampir kehilangan kata. Bumbu yang menyelimuti bakmi ini amat terasa tebal dan meresap ke dalam mi. Sekilas rasa mi ini seperti agak berlebihan bumbu, namun itu semua hilang ketika disusul oleh suapan-suapan selanjutnya.

Di meja penyajian juga disediakan cabe rawit yang sangat nikmat jika diceplus berbarengan dengan mi. Hal yang tidak terlupakan dari makan di bakmi bisu ini adalah ketika setelah selesai makan mi dilanjutkan dengan teh panas wasgitel. Dua hal ini-mi dan teh- seakan saling melengkapi dengan kelebihannya masing-masing untuk menjadikan pengalaman wisata kuliner yang sulit dilupakan bagi anda. Pada akhirnya, saya cukup senang karena dua tebakan saya di awal tulisan ada yang benar. Bakmi Shibishu membuat saya kehilangan kata dan membisu untuk sesaat karena kelezatannya. (nang)

sumber : http://www.yogyes.com

NASI GORENG BERINGHARJO - Kelezatan Kuliner Jawa Cina



Nasi Goreng Beringharjo, kini bisa dijumpai di Jalan Mataram, tepat di pertigaan ketiga sebelah kiri jalan yang menuju ke pasar bersejarah di Yogyakarta itu. Sebelum penghujung tahun 2004, tepatnya sebelum ada pembersihan pedagang kaki lima di wilayah tersebut, nasi goreng itu bisa ditemui di pertigaan menuju kawasan Shopping yang kini dirombak menjadi Taman Pintar, Taman Budaya Yogyakarta dan Pusat Penjualan Buku.

Nasi goreng ini adalah salah satu yang pantas dicicipi sebab kelezatannya telah diakui banyak orang dan dikenal sejak tahun 1960-an, saat sang penjual memulai bisnisnya. Tak perlu menunggu lama jika hendak mencicipinya, sebab penjual biasanya memasak nasi goreng langsung dalam jumlah besar sehingga bisa dihidangkan dalam waktu cepat. Anda bisa datang mulai pukul 18.00 WIB hingga sekitar pukul 23.00 WIB bila ingin mencicipinya, serta bisa memilih ingin duduk lesehan atau di kursi yang tersedia.

Menyantap nasi goreng ini, anda akan merasa seperti mendengarkan sepiring cerita tentang akulturasi Jawa Cina. Jenis masakan nasi goreng sendiri misalnya, sebenarnya berasal dari daratan Cina yang kemudian 'bermigrasi' ke Indonesia. Mulanya, nasi goreng muncul dari tradisi bangsa Cina yang tak ingin membuang nasi sisa, sehingga nasi tersebut diolah dengan bumbu-bumbu yang tersedia, seperti bawang merah, bawang putih dan kecap. Ketika bangsa Cina mulai berdatangan ke Indonesia, masakan itu pun mulai dikenal oleh warga negara Indonesia dan berangsur menjadi satu dengan masakan Indonesia sendiri.

Bukti akulturasinya adalah adanya berbagai variasi nasi goreng, mulai nasi goreng ayam, nasi goreng sea food, nasi goreng kambing, bahkan nasi goreng pete yang notabene bumbu khas Indonesia. Rasanya pun bermacam-macam, ada yang lebih menonjolkan citarasa bawang putih, ada pula yang menonjolkan citarasa bahan tambahannya, misalnya ayam. Nasi goreng Beringharjo memilih memasak nasi goreng ayam dan babi.

Bicara tentang kecap sebagai salah satu bumbunya, itu pun menyimpan cerita tentang penyesuaian bangsa Cina ketika tinggal di Jawa. Kecap, sebenarnya bernama kie tjap, dibuat dari sari ikan yang difermentasikan. Ketika bangsa Cina tinggal di Jawa dan menemukan bahwa kedelai lebih murah dibandingkan ikan, bahan baku pembuatan kie tjap pun diubah menjadi dari kedelai. Akibatnya, kie tjap pun tidak lagi memiliki citarasa ikan, tetapi hanya berasa manis untuk kecap manis, begitu pula nasi goreng. Citarasa bawang putih yang sangat kuat pun juga menjadi ciri masakan-masakan yang berasal dari Cina.

Meski akibat akulturasi itu terdapat banyak sekali nasi goreng di hampir setiap sudut gang, Nasi Goreng Beringharjo tetap memiliki kekhasan. Proses memasak misalnya, tak seperti nasi goreng lain yang memasak dalam jumlah kecil. Sekali masak, penjual bisa menuangkan nasi sebanyak setengah bakul di wajan super besar yang telah diisi oleh bumbu khusus. Disebut bumbu khusus karena ia tak lagi meracik di tempat penjualan, tetapi sudah dalam bentuk campuran yang siap untuk melezatkan nasi goreng.

Daging ayam atau babi ditambahkan pada saat nasi goreng telah ditaruh dalam piring. Selain itu, ditambahkan pula beberapa iris tomat, kol, daun seledri, telur dadar bulat dan acar sebagai pelengkap. Sepiring nasi goreng berharga Rp 5.000,00 untuk daging ayam dan Rp 6.000,00 untuk daging babi. Karena lezat, banyak pengunjung memesan nasi dalam porsi yang lebih besar, mulai dari 1,5 hingga 2 porsi langsung untuk satu orang.

Rasa nasi goreng ini bisa dikatakan pas, tak terlalu manis juga tidak terlalu asin. Aroma bawang putihnya tak begitu kuat namun tetap terasa. Nah, bagaimana, tertarik mencicipinya? Selain nasi goreng, tersedia juga bakmi dan bihun serta babi kecap yang tak kalah nikmat.

sumber : http://www.yogyes.com


PECEL BAYWATCH - Menyantap Pecel Kembang Turi Racikan Mbah Warno "Anderson"


Semula saya sempat bingung dengan julukan Pecel Baywatch yang disandang oleh pecel Mbah Warno. Terlintaslah imajinasi nakal tentang sosok penjual pecel yang mengenakan bikini seperti Mbak Pamela Anderson atau setidaknya warung ini berada di pinggir pantai. Ternyata salah semua. Beginilah cerita lengkapnya.

Warung Mbah Warno terletak di daerah Kasongan, tepatnya berada di jalan menuju Gunung Sempu. Warung yang sudah berdiri sejak 35 tahun lalu ini sangat sederhana. Papan nama warung pecel Mbah Warno ini hanya berukuran 30 x 20 cm2 yang pasti terlewat jika tak benar-benar memerhatikannya. Interior warung diisi oleh perabot yang fungsional dan apa adanya. Hanya terdapat beberapa meja dan kursi kayu serta satu dipan bambu. Di belakang meja tempat meletakkan dagangannya, terdapat dapur berisikan beberapa anglo yang selalu mengepulkan asap. Sebuah posisi yang tak disengaja sebenarnya, sebab dapur dalam konsep Jawa biasanya terletak di bagian belakang. Mbah Warno meletakkan dapur di bagian depan warung pasca gempa Mei 2006 yang meruntuhkan bangunan rumahnya. "Belum punya uang untuk membangun dapur baru", ujarnya.

Mbah Warno menjajakan menu utama pecel dengan beragam lauk sebagai pengiringnya. Mulai dari lele dan belut goreng kering, tahu bacem, mangut belut (belut bersantan yang dibumbui cabai), hingga bakmi goreng. YogYES memesan semuanya agar dapat merasakan aneka rasa masakan Mbah Warno ini.

Sambil menunggu, pikiran saya melayang menelusuri asal-usul pecel yang sama tidak jelasnya dengan soto. Banyak daerah di Jawa memiliki pecel dengan ciri khasnya masing-masing, misalnya Pecel Madiun, Pecel Blitar, Pecel Madura, Pecel Slawi dan lain-lain. Namun setidaknya, seorang sejarawan Belanda bernama H.J Graaf pernah mengungkapkan bahwa ketika Ki Ageng Pemanahan melaksanakan titah Sultan Hadiwijaya untuk hijrah ke hutan yang disebut Alas Mentaok (sekarang Kotagede), rombongan beliau disambut masyarakat di pinggir Sungai Opak dan dijamu dengan berbagai jenis masakan, termasuk pecel.

Lamunan saya terputus saat pecel dan beberapa makanan pengiring tiba di meja. Seporsi pecel, lele goreng, dan tahu bacem seolah menantang untuk secepatnya dinikmati. Terdapat empat jenis sayuran dalam hidangan berlumur bumbu kacang ini yakni daun bayam, daun pepaya, kembang turi (Sesbania grandiflora), dan kecambah / taoge. Kita akan disergap rasa manis dari bumbu kacang yang menggelitik lidah. Saat menguyah kembang turi yang agak getir, rasa manis tadi berpadu sehingga menghasilkan kelezatan yang sulit diungkapkan.

Pecel dengan kembang turi merupakan ciri khas pecel "ndeso". Jaman sekarang sudah sulit untuk menemukan penjual pecel seperti ini. Konon kembang turi memiliki khasiat meringankan panas dalam dan sakit kepala ringan. Jadi tidak heran bila orang Jawa, India, dan Suriname (masih keturunan Jawa juga sih, hehehe) sering menyantap kembang turi muda sebagai sayuran.

Pecel akan bertambah nikmat jika ditambah dengan lele goreng atau tahu bacem. Lele goreng di tempat ini dimasak hingga kering sehingga crispy ketika digigit. Sedangkan tahu bacem yang berukuran cukup besar dapat dinikmati sebagai cemilan bersama cabai rawit. Selain itu juga terdapat hidangan lain seperti belut goreng dengan dua variasinya. Pertama, belut goreng kering yang berukuran kecil dan belut goreng basah yang lebih besar. Ada juga bakmi goreng dan mangut belut bagi anda yang menggemari makanan pedas. Asap dari anglo menambah sensasi rasa dari hidangan di warung ini.

Entah karena kenyang atau efek kembang turi, selesai makan kepala saya terasa lebih cerdas dari biasanya. Sambil ngobrol ringan dengan Mbah Warno dan asistennya, saya jadi paham kenapa pecel di tempat ini dijuluki Pecel Baywatch. Hal itu karena Mbah Warno dan asistennya selalu mengenakan sejenis baju yang disebut kaus kutang. Pakaian yang sangat nyaman untuk dikenakan di tengah udara pedesaan Kasongan Bantul yang kering dan panas.

Walau penjual pecel ada dimana-mana, Pecel Baywatch tetap menawarkan sesuatu yang lain bagi anda. Sebuah kombinasi kelezatan makanan, suasana pedesaan yang kental, dan keramahan Mbah Warno "Anderson". (nang)

sumber : http://www.yogyes.com


SATE KUDA GONDOLAYU - Mendongkrak Vitalitas Kaum Pria


"Saya juga kaget pas Pak Bondan ke sini. Dia langsung pesen 2 porsi untuk dia sendiri. Ya mungkin karena dia tahu daging kuda rendah kolesterol," cerita Bu Suparti, Pemilik Warung Sate Kuda Gondolayu, kepada YogYES siang itu. Masih menurut cerita Bu Suparti, warungnya juga pernah didatangi oleh Ade Rai yang ternyata mampu melahap habis 100 tusuk daging kuda. Wow!




Sembari menunggu sate masak, saya pun melongok lebih dalam isi dapur warung sate ini. Oleh pemiliknya saya ditunjukkan daging kuda mentah yang berwarna merah. Benar-benar tidak ada lemak sedikitpun. Menurut Bu Suparti hal itu karena kuda adalah hewan yang sangat aktif bergerak. Ibu setengah baya yang cukup enerjik ini menjelaskan bahwa daging kuda berkhasiat untuk mengatasi capek, masuk angin dan meningkatkan vitalitas. Tidak hanya dagingnya yang berkhasiat, alat kelamin kuda atau yang lebih dikenal dengan sebutan torpedo dipercaya dapat mendongkrak vitalitas kaum laki-laki, selain berkhasiat mengobati sesak napas. Tapi bila ingin menyantap torpedo, pembeli harus pesan dulu karena peminatnya banyak.

Sate pesanan YogYES akhirnya jadi juga. Hmm, uenaaaak. Dagingnya cukup empuk. Bu Suparti mengatakan bahwa daging kuda paling tidak harus direbus selama 1 jam. Daging kuda yang digunakan berasal dari kuda-kuda yang masih muda dan memang khusus diternakan untuk dikonsumsi. Sedangkan kuda-kuda yang sudah tua seperti kuda penarik andong tidak bisa di sate karena dagingnya terlalu keras dan alot. Biasanya daging seperti itu kemudian dibikin abon. Bu Suparti juga bercerita bahwa yang dulu mempopulerkan sate kudanya adalah para mahasiswa dari Sulawesi.

Tak terasa satu porsi sate kuda, sepiring nasi dan segelas teh panas manis segera berpindah ke perut saya. Benar apa kata Bu Suparti badan saya menjadi hangat. Saya bayar satu porsi sate seharga Rp. 10.000 (Januari 2009) dan ingin membuktikan khasiatnya, kebetulan badan saya pegal-pegal dan capek. Nah, jika Anda ingin merasakan khasiat dan lezatnya daging kuda, Anda dapat mencobanya di Warung Sate Gondolayu. Warungnya buka setiap hari dari jam 9 pagi hingga jam 10 malam.

sumber :

http://www.yogyes.com